Mitigasi Bencana Banjir


Oleh: Daryono

JAWA POS, [ Selasa, 23 Februari 2010 ]


INDONESIA merupakan salah satu negara dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap berbagai ancaman bencana alam dampak cuaca ekstrem. Bencana alam banjir, tanah longsor, dan terjangan puting beliung memiliki frekuensi kejadian sangat tinggi di Indonesia. Posisi geografis Indonesia di daerah tropis terletak di antara dua benua dan dua samudera menjadikan Indonesia memiliki sistem cuaca dan iklim kontinen maritim yang khas. Meskipun pola iklim terjadi pergiliran teratur seperti bergantinya musim hujan dan musim kemarau, jika terjadi gangguan tropis, sering timbul cuaca ekstrem yang dapat memicu terjadinya bencana alam.

Lebih dari sepekan terakhir, cuaca ekstrem melanda sebagian besar daerah di Pulau Jawa. Air hujan seolah tumpah dari langit, aliran banjir pun tak terbendung hingga merendam areal persawahan dan permukiman penduduk. Sejumlah daerah di Jakarta, Bandung, Semarang, Bojonegoro, Pasuruan, dan beberapa daerah lain tidak terhindarkan dari datangnya air bah. Melihat sebarannya, tampak bahwa bencana banjir telah terjadi dalam skala regional dan berdampak kepada kerugian kehidupan masyarakat luas.

Cuaca Ekstrem

Menurut kondisi normal, Pulau Jawa mengalami puncak hujan pada periode Januari-Februari. Karena itu, pada bulan-bulan ini sering terjadi fenomena cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan berintensitas tinggi dengan durasi yang relatif lama. Secara fisis, kondisi ini disebabkan posisi semu matahari terletak di belahan bumi selatan dalam pergerakan menuju khatulistiwa. Situasi ini menyebabkan perairan Indonesia bagian selatan mengalami pemanasan intensif, yang dapat memunculkan beberapa pusat tekanan udara rendah.

Pusat tekanan udara rendah merupakan gangguan tropis yang dapat memicu terjadinya cuaca ekstrem. Bersamaan dengan hadirnya pusat tekanan udara rendah di perairan Indonesia dan sekitarnya, zona konvergensi terbentuk sebagai pertemuan massa udara kaya uap air dari belahan bumi utara dan selatan. Pertemuan massa udara ini kemudian membentuk klaster awan hujan tebal dengan pola memanjang sebagai pumpun pias antartropis (inter tropical convergence zone-ITCZ).

Sepekan terakhir, pumpun pias antartropis ini tampak beberapa kali muncul di atas Pulau Jawa dan jelas teramati dalam citra satelit cuaca. Pumpun pias antartropis ini muncul sebagai “tandon air” yang siap jatuh sebagai hujan deras di hampir seluruh wilayah Pulau Jawa. Inilah biang keladi terjadinya cuaca ekstrem yang memicu bencana banjir di berbagai kota di Jawa. Bencana banjir terkait erat dengan tinggi curah hujan dan durasinya.

Selain faktor curah hujan “sesaat”, bencana banjir tampaknya juga terkait dengan perubahan pola curah hujan. Berdasar analisis beberapa pola curah hujan di Jawa, tampak ada kecenderungan dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan pola curah hujan. Periode musim kemarau berlangsung menjadi lebih lama, sementara periode musim hujan berlangsung menjadi lebih singkat. Selama periode musim hujan yang singkat ini, curah hujan cenderung dengan intensitas tinggi. Dampaknya, dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan frekuensi dan magnitudo bencana banjir dan longsor di berbagai daerah.

Ditinjau dari morfologinya, Pulau Jawa memang daerah rawan banjir, khususnya sepanjang daerah pantai utara dan dataran rendah lain. Melihat kenyataan ini, mau tidak mau bencana banjir memang harus dihadapi. Mengurangi curah hujan adalah tidak mungkin, karena hujan dan banjir merupakan sistem kesetimbangan alam. Karena itu, yang bisa dilalukan adalah menyusun strategi mitigasi banjir yang tepat untuk memperkecil risiko bencana banjir.

Mitigasi Banjir

Bencana banjir yang sudah menjadi “tamu” rutin tahunan di Pulau Jawa merupakan cermin buruknya sistem bangunan air dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kondisi lingkungan hidup. Salah satu usaha mitigasi bencana banjir dapat dilakukan dengan membangun sistem bangunan air yang baik dan menjaga lingkungan hidup. Jika sistem bangunan air dibangun setara dengan kemungkinan ancaman banjir yang mungkin terjadi, mitigasi ini akan efektif dan banjir dapat dikendalikan dengan baik. Kita dapat mengetahui besarnya ancaman banjir berdasar analisis data curah hujan dan kondisi daerah aliran sungai yang ada. Analisis inilah yang menjadi dasar dari perbaikan sistem bangunan air yang seharusnya dibangun.

Kehadiran banyak waduk di Pulau Jawa sangat penting sebagai solusi permasalahan bencana banjir yang muncul setiap tahun. Permasalahan banjir merupakan dampak dari minimnya jumlah waduk. Waduk bukan hanya menjadi pengendali banjir, tetapi juga memiliki fungsi lain sebagai sarana memanen hujan untuk mengairi sawah tadah hujan di musim kemarau. Dengan dibangunnya beberapa waduk baru, berbagai masalah dapat dipecahkan seperti krisis energi. Sebab, dari waduk dapat dibangun pembangkit listrik tenaga air.

Waduk juga bermanfaat untuk mengatasi krisis air minum saat kemarau. Kehadiran waduk juga mampu memengaruhi pola kehidupan masyarakat. Usaha perikanan dan pariwisata juga dapat dikembangkan dengan kehadiran sebuah waduk.

Keberadaan hutan yang lestari memiliki fungsi sangat vital untuk menahan curahan air hujan. Dengan menghijaukan dan melestarikan hutan, ancaman banjir dapat dikurangi karena perubahan air dapat terkendali dengan baik. Kelestarian hutan lestari dan keberadaan waduk membuat para petani terhindar dari kekeringan pada musim kemarau, sedangkan pada saat musim hujan, masyarakat tidak menderita karena banjir dapat terkendali dengan baik.

Sayang, masyarakat kita kurang memahami arti penting lingkungan hidup. Keberadaan hutan di Jawa hanya tinggal kenangan. Jika masih tersisa pun hanya hutan lindung yang luasnya tidak seberapa. Wajar jika setiap turun hujan, aliran pemukaan cukup besar. Hutan Jawa sudah dibabat habis, sungai-sungai besar berubah menjadi dangkal. Kondisi lingkungan menjadi semakin buruk karena lahan sawah dan ladang produktif telah banyak dikonversi menjadi kawasan permukiman dan industri.

Menurut laporan World Watch Institute yang berpusat di Washington, buruknya sistem ekologi suatu negara dapat menghancurkan penduduknya. Hancurnya beberapa peradaban besar dunia masa lalu ditangarai salah satu penyebabnya adalah rusaknya sistem ekologi yang ada. Jika kondisi ini terus berlanjut, sangat mungkin masyarakat kita akan hancur seperti yang ditengarai oleh World Watch Institute di atas. (*)

*). Daryono, SSi, MSi, mahasiswa Program Doktor Ilmu Geografi UGM dan peneliti di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

SUMBER: JAWA POS